Ketua Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean menegaskan, sanksi moral tidak berlaku untuk pimpinan KPK yang terbukti melanggar kode etik. Sebaliknya, mereka bakal dijatuhi sanksi tegas.
Hal ini ditegaskan, mengingat adanya peralihan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai imbas dari revisi Undang-Undang KPK. Berdasarkan ketentuan PP Nomor 42 Tahun 2004, ASN yang melanggar kode etik dikenakan hukuman berupa sanksi moral.
"Soal sanksi, karena ASN maka hukumannya hanya sanksi moral. Betul, karena itu ASN. Pimpinan (KPK) bukan ASN. (Terhadap) Pimpinan, kami tidak pernah menjatuhkan sanksi yang berhubungan dengan moral," kata Tumpak dalam keterangannya di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Senin (9/1).
Tumpak menuturkan, pihaknya mengatur secara perihal sanksi terhadap insan KPK yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Ketentuan tersebut tertuang dalam dalam Peraturan Dewan Pengawas (Perdewas) KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Pimpinan kalau melakukan pelanggaran etik, kami tindak. Bukan sanksi moral, bukan minta maaf. Sanksinya teguran lisan, teguran tertulis, sampai dengan mengundurkan diri," ujar dia.
Dalam ketentuan tersebut dinyatakan, pimpinan KPK yang melanggar kode etik dapat dikenai sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40% selama 12 bulan, atau diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan.
Sebelumnya, anggota Dewas KPK Albertina Ho mengungkapkan, sepanjang 2022 pihaknya telah menyelenggarakan sidang etik terhadap lima perkara dugaan pelanggaran kode etik di lingkungan KPK.
Dari lima kasus yang disidangkan, empat perkara di antaranya dikenai sanksi ringan hingga sedang, yang berupa permintaan maaf baik secara tertutup maupun terbuka.
Keempat kasus tersebut, yakni tiga kasus perselingkuhan yang dilakukan pegawai KPK, serta satu kasus dugaan penyalahgunaan pemindaian (scan) tanda tangan untuk mempertanggungjawabkan pengeluaran keuangan.
Sementara, satu perkara lainnya dinyatakan gugur sebab terlapor diberhentikan dari jabatannya karena mengundurkan diri. Perkara ini merupakan kasus dugaan gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan mantan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.
Dalam perkara ini, Lili sudah menjalani persidangan etik. Namun, pada persidangan kedua ia menyerahkan dokumen Keputusan Presiden yang menyatakan pemberhentian dirinya dari jabatan pimpinan KPK.
Oleh karena itu, Dewas tidak lagi bisa melanjutkan proses persidangan, sebab Lili sudah tidak lagi menjadi bagian dari insan KPK yang bersangkutan karena sudah sebagai insan komisi. Sehingga, perkara dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Lili dinyatakan gugur.